Sebagai orang
pribumi, sudah jelas saya harus tahu
sejarah kota Subang ku ini. Sedikit banyaknya, pasti saya akan share
kepada teman-teman semua... Ok, Cekidot!!
KOTA SUBANG
Prasejarah
Bukti adanya
kelompok masyarakat pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah
ditemukannya kapak batu di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan
Dayeuhkolot (Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum
ini menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada
kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat
sederhana.
Selain itu, dalam
periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai
dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.
Hindu
Pada saat
berkembangnya corak kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian
dari 3 kerajaan, yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3
kerajaan tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada
kontak-kontek dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan
Nusantara. Peninggalan berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng
(Kalijati) membuktikan bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin
kontak perdagangan dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada
masa tersebut, wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda.
Kesaksian Tome’ Pires seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling
Nusantara menyebutkan bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah
timur Sungai Cimanuk hingga Banten adalah wilayah kerajaan Sunda.
IsLam
Masa datangnya
pengaruh kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang
tokoh ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar
tahun 1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan
menyebarkan agama Islam ke berbagai pelosok Subang.
Kolonialisme
Pasca runtuhnya
kerajaan Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa,
menjadi rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram,
Sumedanglarang, VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh
di daerah yang cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk
menjangkau Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang,
terutama di kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung
yang akan menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa
dengan Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram
dan menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem
tercatat seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan
Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang
diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan
lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan
Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini
bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan
Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha.
dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah
Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu,
wilayah Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch
bestuur) yang berkedudukan di Subang.
Nasionalisme
Tidak banyak
catatan sejarah pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun
demikian, Setelah Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri
cabang organisasi Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi
(Ciasem). Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai
Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra
(karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya
mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas
percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra
dipecat sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan
Tohari mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang.
Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang
diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop
Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan
serupa dengan GAPI Pusat.
Jepang
Pendaratan
tentara angkatan laut Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942
berlanjut dengan direbutnya pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini
menjadi catatan tersendiri bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak
lama kemudian terjadi kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara
Jepang. Dengan demikian, Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke
tangan tentara pendudukan Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda
melanjutkan perjuangan melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang
ini Sukandi (guru Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan
dibunuh tentara Jepang.
Merdeka
Proklamasi
Kemerdekaan RI di Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan
di
Subang, antara
lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain,
banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota
TNI. Saat tentara KNIL kembali Bandung, para pejuang di Subang menghadapinya
melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat (Gunung Putri
dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di Subang. Pemilihan
wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi perjuangan. Residen
pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa Barat. Kemudian
Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih Purwanegara,
tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian diangkat pula
Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi Militer Belanda
I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan garis komando
pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah Songgom,
Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen
Kosasih
Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan
tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah perjuangannya.
Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di Cimanggu, Desa
Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan :
1.Wakil Residen
Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya Purwakarta.
2.Wilayah
Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan bupati pertamanya Danta
Gandawikarma.
3.Wilayah
Karawang Barat menjadi Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya
Syafei.
Wilayah Kabupaten Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan
Kabupaten Purwakarta sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama
Kabupaten Purwakarta dengan ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten
Karawang Timur pada tanggal 5 April 1948 dijadikan momentum untuk kelahiran
Kabupaten Subang yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. :
01/SK/DPR/1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar